Saturday, October 25, 2008

Pernah Dipijat oleh Ular atau Tikus?

APA rasanya apabila beberapa ekor ular merayap di atas tubuh Anda? Apapun jawabannya, seorang pengusaha di Israel mencoba menghadirkan sensasi baru pijat dengan menggunakan beberapa ular yang bebas merayap di atas tubuh manusia.

Ara Barak mengaku menemukan "unsur terapi" dari hewan-hewan peliharaannya itu usai memperhatikan beberapa temannya merasa rileks setelah memegang hewan-hewan reptil itu. Semula perempuan asal Israel itu meraih uang dengan hanya memamerkan hewan bersisik itu ke publik. Namun, Barak mendapatkan penghasilan lebih besar setelah mengetahui hewan-hewan bersisik itu mempunyai nilai tambah.

Ara Barak yang mengelola The Snake Spa menjelaskan sensasi gerakan ular yang merayap di atas tubuh kliennya menimbulkan sensasi ketenangan yang luar biasa. Ular-ular berukuran besar digunakan untuk memberikan pijatan dengan tekanan lebih kencang. Sementara ular-ular berukuran kecil digunakan untuk menimbulkan sentuhan lebih ringan.

Biaya pijat dengan menggunakan seluruh ular yang tak berbisa itu adalah sekitar Rp450.000. Apabila kliennya merasa takut atau jijik untuk dipijat dengan menggunakan ular, Ara Barak juga menawarkan pijatan dengan hewan pengeratnya. Maksudnya?! Sejumlah tikus dan curut akan diletakkan di bawah kaki kliennya untuk menimbulkan rasa nyaman. Bagaimana, mau mencobanya?


JIM
Sumber : daily mail


Wednesday, October 22, 2008

Ismail Saleh, Pendekar Hukum itu Telah Tiada

22/10/2008 10:01
Pendekar Hukum itu Telah Tiada

Liputan6.com, Jakarta: Ismail Saleh, mantan Jaksa Agung dan Menteri Kehakiman yang dijuluki "Pendekar Hukum", Selasa malam (21/10) pukul 22.30 WIB meninggal dunia dalam usia 82. Sang Pendekar sempat dirawat di RSCM Jakarta.

Ismail Saleh atau Mas Is dilahirkan di Pati, Jawa Tengah, pada 7 September 1926. Ia pernah menjabat sebagai Pemimpin Umum LKBN ANTARA pada 1976-1979, Jaksa Agung pada 1981-1984, dan Menteri Kehakiman pada 1984-1993.

Menurut ensiklopedia tokoh Indonesia, semasa menjabat Jaksa Agung, ia dijuluki "Trio Pendekar Hukum" bersama Ketua Mahkamah Agung Mudjono dan Menteri Kehakiman Ali Said. Ia juga dikenal akrab dengan wartawan, karena ia paham dunia ini sepi tanpa wartawan.

Ketika Pak Harto lengser pada 21 Mei 1998, ia tidak "bersembunyi" dan tetap memperlihatkan dirinya yang mantan menteri era Orde Baru. Namun, ia tidak ikut-ikut menghujat rezim terdahulu, seperti yang dilakukan beberapa sejawatnya.

Mas Is mengaku tidak terlalyu dekat dengan Pak Harto. Sebelum memegang jabatan sipil, ia juga menempati sejumlah posisi militer. Terakhir, ia menyandang pangkat Letnan Jendral.

Rencananya, siang nanti jenazah sang "Pendekar Hukum" akan disemayamkan di rumah duka di Jalan Musholla 1, Ampera Raya, Kemang Selatan, Jakarta Selatan.(SHA/ANTARA)

-----------------------------------------------------------------------------

Sang ‘Pendekar Hukum’

Semasa menjabat Jaksa Agung (1981-1984), Ismail Saleh, yang akrab dipanggil Mas Is, pernah dijuluki ''Trio Punakawan/Pendekar Hukum'' bersama Ketua MA Mudjono, SH dan Menteri Kehakiman Ali Said, SH. Mantan Menteri Kehakiman (1984-1993), ini tergolong akrab dengan wartawan. Maklum, sebelumnya dia memang menjabat Direktur LKBN Antara (1976-1979), maka dia sangat paham bahwa dunia ini sepi tanpa wartawan (pers).

Setelah Pak Harto lengser, pria kelahiran Pati, Jawa Tengah, 7 September 1926, ini tetap menunjukkan diri sebagai seorang mantan menteri pada masa pemerintahan Orde Baru. Dia tidak bersembunyi atau malah ikut-ikutan menghujat mantan penguasa Orde baru itu, seperti dilakoni beberapa pejabat Orde Baru lainnya.

Bahkan Islamil Saleh tampil reaktif pada setiap pernyataan yang menghujat Pak Harto, dengan cara menulis di beberapa koran dan majalah. Salah satu tulisannya di Harian Kompas 14/6/2003, bertajuk: Penegakan Hukum atau Komoditas Politik?

Dalam artikel itu, Ismail Saleh mengutarakan dalam perkara HM Soeharto, Presiden kedua Republik Indonesia yang sudah berjalan lima tahun lamanya, ternyata bukan kebenaran obyektif yang ditegakkan, melainkan berubah menjadi pembenaran subyektif untuk membenarkan tindakan hukum yang diambil. Tindakan hukum yang mestinya ditopang dengan pertimbangan yang masuk akal terkesan menjadi tindakan yang akal-akalan saja. Kalau akal sudah mulai ditinggalkan, apalagi nuraninya.

Perkara HM Soeharto sempat dihentikan penyidikannya berdasarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) Nomor Prin 081/JA/10/1999 tanggal 11 Oktober 1999. Alasan penghentian penyidikan adalah karena unsur "melawan hukum, merugikan keuangan negara dan perekonomian negara dan menyalahgunakan wewenang, kesempatan dan sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan", memang tidak terdapat cukup bukti dan tidak dapat dibuktikan. Penyidikan terhadap HM Soeharto adalah dalam kedudukannya sebagai ketua yayasan.

Namun, dua bulan kemudian, yakni pada tanggal 6 Desember 1999, Jaksa Agung mengeluarkan pernyataan dan Surat Perintah Penyidikan lagi yang isinya antara lain sebagai berikut: "SP3 11 Oktober 1999 adalah semata-mata hanya penyidikan terhadap Yayasan (Dharmais, Supersemar, dan Dakab).

Ditemukan hal-hal baru untuk membuka kembali penyidikan karena HM Soeharto selaku Presiden yang mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan peraturan berupa PP dan Keppres, diduga telah menyalahgunakan kewenangan dan kekuasaan tersebut sebagai sarana untuk menghimpun dana bagi yayasan-yayasan yang diketuainya dan atau untuk kepentingan/keuntungan keluarga dan kroni-kroninya yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara".

Jadi, di sini sudah berubah posisi hukum HM Soeharto, yaitu tidak lagi sebagai ketua yayasan, tetapi berganti selaku Presiden. Kalau sebagai ketua yayasan tidak terdapat cukup bukti, ya... dicari saja kesalahannya selaku Presiden. Ini akal- akalan. KITA ikuti saja mengenai posisi hukum HM Soeharto dalam kasus tersebut, apakah masuk akal atau tidak. Bertambah kusut atau tidak.

Ternyata rumusan hukumnya macam-macam, yaitu "selama menjabat Presiden" (Surat Perintah Penyidikan tanggal 28/3/2000, 5/5/2000, 23/5/2000, dan 6/6/2000), "sewaktu menjabat Presiden" (Surat Perintah Penahanan Kota 13/4/2000), tetapi dalam Surat Perintah Pengalihan Penahanan Kota menjadi Penahanan Rumah 29 Mei 2000 adalah "baik selaku Presiden maupun selaku Ketua Yayasan". Kok, bisa begitu?

Rumusan itu lebih tidak masuk akal lagi dalam Surat Perintah Penahanan di tingkat Penuntutan tanggal 3 Agustus 2000 yang dikeluarkan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, yaitu "selaku Ketua Yayasan diduga telah melakukan tindak pidana korupsi/menyalahgunakan kewenangan dan kekuasaan antara lain mengeluarkan peraturan berupa Peraturan Pemerintah dan Keputusan Presiden." Konstruksi hukum macam apa yang mau dipakai penuntut umum untuk menduga ketua yayasan, HM Soeharto, kok dikatakan telah menyalahgunakan kewenangan dan kekuasaan dengan mengeluarkan PP dan keppres? Mana ada seorang ketua yayasan mempunyai kekuasaan mengeluarkan PP dan keppres?

Ini sudah kalut cara berpikirnya, tidak bisa membedakan antara HM Soeharto sebagai presiden dan ketua yayasan, apalagi main serampangan saja memosisikan HM Soeharto dengan rumusan "baik selaku Presiden maupun selaku ketua yayasan." Kalau sudah demikian keadaannya, itu bukan murni penegakan hukum lagi, tetapi sudah ada tendensi ke arah "politisasi hukum." Paradigmanya berubah dari paradigma hukum ke paradigma politik. Dimensi politiknya lebih kental ketimbang dimensi hukumnya. Mengapa demikian?

Dari awal saja sudah tampak warna politiknya dengan adanya TAP MPR No XI/MPR/1998 tentang pemberantasan KKN terhadap siapa pun juga, termasuk mantan HM Soeharto. Bergulirlah tema KKN yang dipakai sebagai political issue untuk menghabisi Soeharto yang dianggap sebagai representasi Orde Baru.

Siapa Ismail Saleh
Dia yang mengaku secara pribadi tidak dekat dengan Pak Harto, itu mulai bertugas di Sekretariat Negara sebagai Sekretariat Presidium Kabinet (1967-1968). Kemudian menjabat Wakil Sekretaris Kabinet/Asisten Sekneg Urusan Administrasi Pemerintahan (1972) dan Sekretaris Kabinet (1978).

Kemudian, dia dipercaya menjabat Direktur LKBN Antara (1976-1979). Setelah itu, sempat ditugaskan sebagai Pj. Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal (1979-1981), sebelum diangkat menjadi Jaksa Agung (1981-1984) dan Menteri Kehakiman (1984-1988).

Sebelumnya, dia mengawali karir sebagai anggota Intel Tentara Divisi III, Yogyakarta. Kemudian bertugas sebagai anggota Pasukan Ronggolawe Divisi V di Pati dan Wonosobo (1948-1949) sebelum bekerja di Direktorat Kehakiman AD (1952). Setelah itu dia bertugas sebagai Perwira Penasihat Hukum Resimen 16, Kediri (1957-1958) dan Jaksa Tentara di Surabaya (1959-1960). Kemudian menjabat Jaksa Tentara Pengadilan Tentara Daerah Pertempuran Indonesia Timur, Manado (1960-1962) dan Oditur Direktorat Kehakiman AD (1962). Sebelum bertugas di Setneg, dia menjabat Perwira Menengah Inspektorat Kehakiman AD (1964-1965).

Namanya semakin populer saat menjabat Jaksa Agung. Pasalnya, dia sering mengadakan kunjungan mendadak ke kantor-kantor kejaksaan. Dia berprinsip, bila mengharapkan ketertiban masyarakat, maka instansi penegak hukum harus tertib lebih dulu. Kebiasaan sidak itu, dilanjutkannya saat menjabat Menteri Kehakiman.

Berbagai penyimpangan pernah dibongkarnya. Seperti, kasus manipulasi pajak oleh sejumlah perusahaan asing, kasus Tampomas, dan penggelapan uang reboasasi di Sulawesi Tengah.

Dia seorang pejabat yang sejak kecil sudah sangat mencintai alam dan hutan. Maklum, ayahnya, seorang kepala kehutanan di daerah Jawa Tengah, sering mengajaknya berkeliling melihat-lihat tanaman di hutan.

Selain itu, setelah lulus HIS, 1941, Ismail masuk ke Sekolah Menengah Pertanian. Dia sekelas dengan Kapolri Anton Soedjarwo. Walaupun kemudian dia melanjut ke SMA, tamat 1950. Setelah itu melanjut ke Akademi Hukum Militer, dan Perguruan Tinggi Hukum Militer. ►e-ti/crs, dari berbagai sumber, di antaranya pdat

*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)


Keroncong yang Mulai Terlupakan

21/10/2008 06:41 - Musik
Keroncong yang Mulai Terlupakan

Liputan6.com, Jakarta: Dulu, siapa yang tak kenal musik keroncong. Tapi kini, sebagian masyarakat mungkin sudah asing dengan keroncong.

Namun masih ada kelompok musik yang menggantungkan hidup dari kesenian ini. Adalah kelompok musik keroncong Rindu Kasih. Mereka bertahan dengan mengamen di gang Lele Raya, Jatinegara, Jakarta Timur. Jembatan Merah pun mengalun di gang sempit itu.

Sembilan tahun mereka bertahan dengan menjadi pengamen di warung sate. Panggilan untuk pesta perkawinan sudah jarang didapat apalagi untuk acara pertunjukan.

Musik keroncong memang pernah populer pada tahun 60-an di Indonesia. Sekarang, seni budaya perpaduan gaya Indonesia dan Portugis ini mulai terlupakan.(TOZ/Satya Pandia)


Tool Group : Administrative Assistance (and Assistants!) for Groups

Link
---------------------------------------------------------------------

Minggu ini Multiply menambahkan beberapa tool tambahan untuk pengelolaan Group yang cukup baik dan sangat membantu.
Silahkan periksa penjelasan singkat berikut dan ikuti diskusinya di soumbernya bila berkenan.


---------------------------------------------------------------------


We break our weeklong silence today with some news that will almost certainly make the wait absolutely worth it.

We have some new features. These features are enhancements to groups.
You are going to love these features.

These features include:

New member approval If you run a public group, until now, this meant that just anyone could join. It's now possible for group administrator(s) to approve new memberships, as people join.

If you run a private group, and allow members to invite other members, you now choose to approve those new members as well.



Administrator post moderation Group admins can now choose to moderate posts that are made to the group, before they're shared with all members.



Assistant administrators Does keeping up-to-date with approving new members and posts sound like a lot of work to you? Why not make it someone else's problem let someone else help you out?

Group admins can now nominate one or more assistant administrators to help keep your group well-maintained. Assistant admins can do everything an admin can (including the two new features above) but cannot... 1) add or remove admins (or assistant admins), 2) delete the group, or 3) edit the group's settings.


Group settings has moved Speaking of group settings, we've moved the link for changing these to the handy new location of your group's sidebar, right underneath the group headshot. For simply viewing the group's current settings, the "View Group Profile" still remains in the Welcome box.