Monday, July 28, 2008

Pakar Ekonomi Dr Sjahrir Meninggal Dunia - (28 Juli 2008)

Senin, 28 Juli 2008 | 08:58 WIB

JAKARTA, SENIN - Ekonom Dr
Sjahrir yang juga pendiri Partai Perhimpunan Indonesia Baru meninggal
dunia di Singapura pukul 09.00 waktu setempat karena sakit, Senin
(28/7).

Demikian pesan layanan singkat yang diterima Kompas.com
pagi ini. "Innalilahi wainna ilahi rojiun, telah meninggal ke
rahmatullah sahabat, abang DR Sjahrir (Ciil) jam 9.00 waktu Singapore
karena sakit. Almarhum direncanakan akan dibawa ke Jakarta malam ini,"
demikian bunyi pesan singkat tersebut.

Jabatan terakhir yang
dipegang lelaki kelahiran Kudus, Jawa Tengah, 24 Februari 1945 ini
adalah Ketua Umum Partai Perhimpunan Indonesia Baru. Ia meninggalkan
seorang istri, Kartini Panjaitan serta dua orang anak, Pandu dan Gita.

Innalilahi Wa inailaihi Rajiun


Pria tambun yang cerdas ini diangkat Presiden SBY menjadi Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi. Mantan aktivis dan alumni FEUI (1973) ini seorang ekonom yang juga merambah ke dunia politik dengan mendirikan Partai Perhimpunan Indonesia Baru (23-9- 2002. Namun partainya yang tadinya diharap bisa menjadi penerang yang membuka jalan menyongsong Indonesia Baru, Indonesia yang demokratis, berkeadilan dan majemuk, belum berhasil meraih suara signifikan dalam Pemilu 2004.

Sebagai ekonom, Ketua Umum Partai Perhimpunan Indonesia Baru (Partai PIB), ini banyak menulis buku tentang masalah kemiskinan dan kebutuhan pokok, ekonomi politik dan dunia pasar modal.

Ia sudah menjadi berita sejak demonstrasi mahasiswa menentang korupsi pada awal 1970-an. Namanya semakin tersiar setelah ia mendekam di penjara selama tiga tahun sepuluh bulan lebih akibat Peristiwa Malari, 15 Januari 1974.

Cikal bakal pendirian Partai PIB yang didukung oleh paling sedikitnya 34 orang tokoh negeri ini banyak didorong keinginan anggota dan simpatisan Yayasan Padi dan Kapas - yayasan yang diketuai oleh Sjahrir sendiri - yang berkeinginan melakukan hal konkret bagi bangsa ini. “Daripada sibuk mengutuk kegelapan, lebih baik mulai menyalakan lilin, bisa jadi sinyal untuk mengubah zaman Kaliyuga dengan turut meramaikan Pemilu 2004” demikian sang deklarator mengemukakan alasan pendirian partainya.

Meskipun sudah jadi partai politik, namun Perhimpunan Indonesia Baru masih tetap menjalankan fungsinya sebagai pemantau bagi parlemen dan pemerintah. Hal mana sudah dibuktikan dengan usulan PIB sebelum menjadi partai politik, dengan mengusulkan Rancangan Ketetapan Pemulihan Ekonomi kepada MPR. Hasrat untuk bersikap oposan kepada penguasa sudah jadi tekad bulat mereka.

Sjahrir dilahirkan di Kudus, Jawa Tengah, 24 Februari 1945 dari ayah dan ibu keturunan minang. Menurut horoskop Cina, dia bernaung di bawah shio ayam (khe), pahlawan yang gagah berani, yang memberitahukan datangnya pagi serta dimulainya hari, dan yang menatap ke bumi kalau sedang mencari makan. Ayam tergolong binatang yang paling tidak dimengerti dan eksentrik dalam siklus Cina. Hatinya konservatif dan kuno. Warga ayam yang laki-laki, biasanya menarik. Dia adalah keluarga unggas yang berlagak bagai pangeran dan bangga akan bulu-bulunya yang bagus, gemar berdebat, dengan stamina yang mengagumkan.

Horoskop Cina itu memang cocok dengan dirinya, staminanya memang mengagumkan. Dia bisa berbicara pada empat seminar dalam sehari. Ketika hujan undangan seminar itu datang padanya, Sjahrir, yang punya kemampuan mentertawakan dirinya sendiri, ini berkata, "Gue udah jadi Dorce sekarang."

‘Ciil’ nama kecil Sjahrir seorang pria yang ramah, pintar dan berapi-api tetapi sekaligus jenaka. Bahkan Majalah Matra menulisnya " ... dalam derai tawanya, ekonom kondang ini tetap mampu menyampaikan pikiran-pikirannya dengan jernih dan jelas. Jenaka pun bisa!".

Ekonom bertubuh tambun yang digelari teman-temannya ‘si gendut’ ini memang seorang periang dan hangat bila bicara. Wartawan-wartawan ekonomi yang sering menyaksikannya tampil di seminar menyebut dia sebagai ‘orang panggung yang menguasai forum’. Masalah yang dia bicarakan sering tambah menarik karena keterampilannya mempertemukan fenomena ekonomi dan fenomena politik. Juga kemampuannya melontarkan joke juga sering membuat "Sjahrir Show" jadi berhasil.

Pria yang pandai menirukan aksen dan gaya orang berbicara ini, bisa lucu kalau dia berniat untuk kocak. Tapi ketika dia tidak berniat melawakpun, tingkah lakunya bisa dibuat jadi obyek tertawaan oleh kawan-kawannya, bahkan sering jadi bulan-bulanan.

Ada banyak cerita yang menempatkannya menjadi obyek cerita yang menggelikan. Satu di antaranya adalah pengalaman tahun 1993 silam ketika sebuah seminar di Jakarta mengundangnya jadi pembicara. Dengan pakaian lengkap: pakai jas dan berdasi dia berangkat. Di sana dia jadi salah seorang pusat perhatian. Tapi tidak disadari ada sesuatu yang tak beres pada dirinya. Ketika kembali ke kantornya di Jl. Teuku Cik Ditiro, tetap belum disadari sesuatu yang tak beres tersebut. Sekembalinya dia ke rumahnya di Pamulang dan berganti pakaian, disitulah tiba-tiba terdengar teriakan Ciil memanggil isterinya, "Waaah, Ker ... Sepatu gue beda kiri sama kanan."

Menurut cerita Ker, -panggilan Kartini, istrinya yang kemudian membocorkan pengalaman tersebut- sepatu yang dipakainya itu sama-sama cokelat. Desain sepatu itu hanya sedikit berbeda. Ketebalan tumitnya juga sedikit berbeda. Perbedaaan-perbedaan itu tidak dilihat Sjahrir ketika mengambil sepatu tersebut karena berangkat subuh sebagaimana biasa dengan terburu-buru.

Untuk meyakinkan dirinya apakah ada atau tidak orang yang memperhatikan sepatunya, dia mengingat-ingat kembali pengalamannya sepanjang siang itu, "Pantas, rasa-rasanya jalan gue kok nggak enak tadi," kata Kartini menirukan Ciil. Dia menyesalkan betul, kenapa di kantornya tidak ada orang yang melihat dan memberi tahu bahwa sepatu berbeda
Banyak cerita menggelikan mengenai dirinya. Ada yang direkam dan diedarkan kawan-kawannya sendiri di "lingkungan terbatas". Ada lagi yang bersumber dari bocoran-bocoran Kartini. Tapi tak sedikit pula yang dikarang, dan menjadikannya sebagai tokoh konyol dalam cerita itu. Teman-temannya begitu senang menjadikannya sebagai alasan untuk tertawa.


Kadang cerita itu bahkan menjadikannya sebagai orang bodoh. Seperti cerita yang beredar dari lapangan sepakbola Gelanggang Mahasiswa Kuningan. Ketika kesebelasan Betah (bekas tahanan) sering bermain bola di sana. Suatu kali dia amat senang dan berjingkrak-jingkrak setelah menendang bola ke gawang dan masuk. Padahal, kata cerita itu, gawang yang dibobolnya itu gawang dia sendiri. Ketika kepadanya diberi tahu bahwa gawang itu adalah gawangnya sendiri, dia malah ngotot, "Nggak bisa dong."

Sebenarnya dia tahu kelakuan kawan-kawannya ini, tapi agaknya dia tidak hirau betul. Dia juga mengetahui istrinya sering jadi sumber bocoran. Oleh karenanya, ketika di Yayasan Padi dan Kapas misalnya, jika dia memergoki isterinya 'ngerumpi dengan kawan-kawannya, dia pasti bertanya sembari cengar-cengir, "Cerita apa lagi, lu Ker? Lama-lama gue lihat, berbahaya lu." Kartini tenang mendengar pertanyaan seperti ini, dan menjawab dengan, "Lu kok curiga banget?!"

Lu dan gue adalah panggilan sehari-hari yang dipakai oleh suami-isteri ini. Bisnis Indonesia Minggu pernah menulis: ‘Sjahrir dan Kartini adalah pasangan yang seia dan serasi dalam kesuburan badan’.


***

Anak satu-satunya pasangan Ma'amoen Al Rasyid dan Ny. Roesma Malik ini bersama kedua orangtuanya menghabiskan sebagian besar hidup mereka di Pulau Jawa: di Jakarta, Kudus, Yogyakarta, Magelang dan Surabaya. Ayahnya, Ma'amoen Al Rasyid (1904-1980), adalah pegawai BB (Binnenlandse Bestuur) dengan jabatan akhir bupati diperbantukan di Magelang, dan pernah mengenyam pendidikan kedokteran di Stovia, Jakarta. Ibunya, Ny. Roesma Malik (1915-1984), adalah pegawai Inspektorat Pendidikan Kewanitaan, Departemen P dan K, pernah mendapatkan pendidikan di Syracuse University, New York pada awal 1950-an. Ibunya ini adalah seorang wanita yang tegar, terpelajar, dan berdisiplin tinggi. Dalam hal disiplin, Sjahrir banyak dipengaruhi oleh sang bunda ini.

Dalam hal disiplin, Kartini - istrinya, pernah mengeluh bahwa melakukan perjalanan dengan suaminya itu bukan hal yang mudah, sekalipun untuk bersenang-senang. Dia akan menetapkan, harus berada di airport dua jam sebelum penerbangan, sekalipun itu untuk penerbangan domestik dan dilayani oleh perusahaan penerbangan yang sering memakai jam karet. Begitu sampai di tempat tujuan, dia biasanya segera melakukan konfirmasi pesawat untuk perjalanan berikutnya meskipun dia dapat melakukannya keesokan harinya.

Keteraturan dan kepastian waktu dilakukannya sampai dalam menghadiri pesta sekalipun. Kalau pesta dimulai pukul 19.00, bisa dipastikan dia berada di sana persis pada jam tersebut. Karena itu pula dia sering menjadi tamu pertama di pesta perkawinan, yang kadang-kala pengantinnya sendiri bahkan belum tiba di tempat perhelatan.

Suatu kali, dengan agak mengomel, dia mengatakan bahwa orang Indonesia merasa dirinya menjadi kurang penting kalau hadir atau datang tepat pada waktunya. Makin tinggi jabatan atau makin menjadi tokoh publik, makin besar kecenderungan untuk terlambat hadir. "Bagaimana mau maju? Bagaimana bisa bicara teknologi tinggi yang memerlukan presisi yang begitu rupa? Bagaimana bisa bersaing dengan luar?" katanya. Kalimat-kalimat ini biasanya dia utarakan kalau ada koleganya yang tidak menepati janji tepat pada waktunya.

Pria yang bicara dengan logat Betawi namun menurut isterinya, agak "Koto Gadang", juga "Mentengist". Disebutkan warna Koto Gadangnya agak kentara, dan " Mentengist" karena dia sering bangga akan dirinya, seperti ayam yang menurut horoskop Cina tadi bangga akan bulunya yang elok. Sebagian besar masa kecil dan remajanya memang dilewatinya dalam lingkungan keluarga ayahnya, orang Koto Gadang, Bukittinggi, seperti halnya dengan orang Koto Gadang lainnya pada 1950-an yang bertempat tinggal di Menteng mengikuti posisi mereka sebagai pejabat atau pegawai pemerintahan. Dia tinggal di rumah besar keluarga Dr.Zakir di Jl Prapatan yang sekarang menjadi Hotel Aryaduta. Ketika rumah itu dijual untuk dijadikan hotel, dia ikut pindah ke Jalan Sumbawa sampai dia menikah.

Walau disebut ‘Mentengist’, namun semasa kecil dan remaja, dia hanya anak dan remaja sederhana. Sementara anak-anak Menteng lain sering naar boven, Ciil kecil tinggal menunggu rumah. Ketika remaja Menteng mengendarai sedan Dodge Dart atau Impala, Ciil hanya ikut nebeng.

Pada saat remaja Menteng menjadi pemuka dalam fashion, Ciil tampil dengan celana khaki, kemeja putih dan sandal Bata. Kehidupan yang begitu sederhana dan kontras dengan kehidupan Menteng-Buurt tidak membuat dirinya bitter. Dia tetap ceria. Dia nikmati masa remaja dan masa mahasiswanya, akrab dengan teman-temannya dari kalangan the haves dan tidak pernah merasa kurang dari mereka.

Kementengannya itu pulalah yang membawa Ciil masuk Imada (Ikatan Mahasiswa Djakarta) yang hingga akhir 1960-an populer dengan salam Ahoi-nya. Imada memang menyandang kesan elite, apalagi para mahasiswa anggotanya punya motto "buku, pesta dan cinta". Mereka yang cemburu pada ormas ini menyebut Imada sebagai "ikatan mahasiswa dansa" atau "ikatan mahasiswa sepatu roda".

Sebagai aktivis mahasiswa Ciil mulai dari sini. Lewat Imada pula dia kemudian terpilih menjadi Sekjen Senat Mahasiswa Fakultas Ekonomi Ul, tetapi kemudian kalah suara ketika mencalonkan diri untuk jadi Ketua Umum Dewan Mahasiswa Ul.

Sehari-hari sekarang Sjahrir sibuk oleh pekerjaannya sebagai Managing Director pada Institute for Economic and Financial Research (Ecfin), lembaga riset yang dia rintis bersama-sama Dr. Slangor (almarhum), Dr. Mari E. Pangestu dan Adril Sulaeman, MA. Sjahrir juga menjadi Ketua Yayasan Padi dan Kapas, sebuah yayasan yang bergerak di bidang pendidikan, penelitian dan kesehatan masyarakat; menjadi konsultan dan penasehat pada beberapa bank perusahaan publik dan media publikasi; serta juga bergerak dalam usaha di pasar modal dan pasar uang. Sejak 1994 Sjahrir menjadi narasumber pada Dewan Sosial Politik ABRI.

Selain jadi pengajar di FEUI, Sjahrir mengajar pula di Fakultas Pasca Sarjana, UI, Jurusan Ekonomi; Program Magister Management, Universitas Airlangga, Surabaya, dan pengajar di Lembaga Studi Ilmu Sosial. Sjahrir tamat dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia pada 1973.

Setelah beristirahat di penjara selama tiga tahun sepuluh bulan lebih, akibat Peristiwa 15 Januari 1974, dia menikah dengan Kartini Panjaitan (1977) dan kemudian berangkat ke Boston, Amerika Serikat untuk program pasca sarjana. Tahun 1980 dia mendapatkan gelar Master in Public Administration (MPA) dari J.F. Kennedy School of Government, Harvard University. Tiga tahun kemudian, 1983, masih dalam status tahanan politik dia memperoleh gelar Ph.D dalam Political Economy and Government, dari Harvard University, dan pulang ke Indonesia.

Ketika di Boston itu pulalah dua anak mereka lahir: Pandu dan Gita. Pandu telah lulus dari University of Chicago dengan major economics dengan gelar BA dan sekarang bekerja pada Lehman Brothers di Hong Kong. Gita telah menamatkan SMU di Phillips Academy di Andover dan bahkan telah menjadi mahasiswi di University of Chicago. Dari sikapnya terhadap kedua kedua anaknya, kata Kartini, terlihat bagaimana dia melihat pendidikan, yang menurut Ciil harus melahirkan manusia professional. Profesionalisme menciptakan kompetisi. Kompetisi menghasilkan produk unggul dan inovasi. Manusia Indonesia mendatang adalah manusia yang siap bertarung di pasar tenaga kerja dunia.

Sejak dini dia tanamkan pada anak-anaknya bahwa yang akan mereka warisi dari dirinya hanyalah pendidikan yang terbaik dan watak. Sikap tegasnya ini cukup tampak pada kedua anaknya, yang percaya bahwa kelak mereka harus mencari hidupnya sendiri. Pandu, misalnya, tumbuh menjadi anak yang sangat sederhana, rendah hati dan apa adanya. Bagi Pandu tidak jadi soal ikut orangtuanya ke pusat perbelanjaan dengan memakai kaus yang jahitan pada bagian ketiaknya lepas. Karena dia memang begitu, ibunya hanya bisa mengingatkan agar Pandu jangan sekali-kali mengangkat tangannya.

Isteri dan anak adalah inti kehidupan bagi Ciil. Ini mungkin datang dari latar belakang kehidupannya di masa kecil, yang tidak mengalami kebahagiaan seperti anak-anak lain pada masanya. Isteri dan kedua anaknya mendapat perhatian yang khusus dalam pengertian yang sesungguhnya dari dia. "Ini kerap membuat kami terharu," kata Kartini. Kartini, doktor dalam bidang antropologi, adalah dosen pasca sarjana di Universitas Indonesia. Anak-anaknya dia anjurkan membaca sebanyak mungkin. Gita, misalnya, diberi PR antara lain membaca The Jakarta Post setiap hari. Si anak, yang sering kali lupa membaca, kadang-kadang kelihatan agak jengkel setiap kali ditanya. Begitupun, Ciil tetap saja pada pendapatnya, Gita mesti membaca koran. Tidak cukup dengan itu, dia akan menyodorkan suratkabar itu ke hadapan si anak.

Di samping memberi tugas seperti ini, dia juga senantiasa menyediakan waktu berbicara mengenai apa saja, khususnya ilmu ekonomi dengan Gita. Ini biasanya terjadi pada saat dia sedang duduk ngelonjor pakai sarung dan mengenakan kaus oblong sembari menonton televisi. Gita duduk di pangkuannya. Lalu dia mulai mengajar puterinya itu mengenai: sistem ekonomi, mengenai perbankan, pasar dan koperasi. Cara penyampaiannya dibuat begitu sederhana disertai dengan contoh-contoh kasus, sehingga tidak mengherankan pengetahuan dan pemahaman Gita mengenai ilmu ekonomi dan koperasi cukup mendalam.

Ciil tampaknya punya keinginan besar untuk mewariskan pengetahuannya kepada Gita ketimbang Pandu. Itu mungkin karena dia melihat bahwa minat Pandu yang terbesar hingga saat ini adalah matematika-fisika dan menulis cerita pendek. Tapi Gita sendiri kalau ditanya ingin jadi apa kelak, menjawab "ingin jadi pemain drama". Apakah punya cita-cita menjadi ekonom seperti ayahnya? Jawabannya, "Tidak', selama dia masih mungkin jadi penari atau pemain drama.

Dengan Pandu, Ciil banyak berbicara mengenai berbagai literatur dari kelas sastra sampai dengan kelas picisan, juga tentang permainan basket NBA, kegemaran mereka berdua. Ciil membiasakan kedua anaknya untuk sering menulis apa saja yang dilihat, didengar dan dipikirkan. Agaknya, kesukaannya menulis turun pada kedua anaknya, terutama Pandu.

Kegiatan menulis, lazimnya berpasangan dengan membaca. Dalam urusan membaca ini, menurut cerita, pada usia delapan tahun Ciil sudah membaca sembilan suratkabar setiap hari. Kini dia berlangganan sedikitnya 11 koran dan selusin majalah, baik dalam maupun terbitan luar negeri.
Secara rutin dia membaca book review di The New York News dan New York Times Review of Books, secara periodik membeli jurnal ilmiah seperti Daedalus. Dia juga membaca dan mengumpulkan puluhan novel dari yang 'rada picisan' sampai yang bernilai sastra. Tidak berhenti pada novel, Ciil punya kegemaran khusus, mengumpulkan buku-buku yang berisi nasehat atau lelucon, baik yang disajikan dalam bentuk syair maupun cerita.

Kumpulan buku nasehat yang disukainya dan tetap dibaca hingga sekarang, ditaruhnya di salah satu rak di dekat meja mejanya: The Book of Virtues karangan William Bennett dan Letter to Sabine.

Ciil juga gemar membeli majalah mengenai permainan basket, majalah mengenai mobil dan motor. Begitu juga majalah ringan seperti Jakarta-Jakarta, dan Humor. Kapan dia punya waktu untuk membaca semua itu? Kapan-kapan saja, dan pada setiap tempat. Itu sebabnya, ke mana saja dia bepergian, jauh atau dekat, ke kantor atau ke luar negeri bacaan selalu ada di dekatnya. Buku itu belum tentu dibaca di tempat tujuan, apalagi kalau dia terlalu lelah atau kekenyangan. Tetapi dia bagaikan terasa menikmati sesuatu jika buku itu terus ada di dekatnya.

Siapa pun yang berkunjung ke rumah atau ke kantornya akan menemukan tumpukan buku di mana-mana. Sekretarisnya --Poppy Soeyono-- selalu khawatir kalau-kalau buku di rak di belakang dan di samping meja kerjanya jatuh menimpa Ciil, karena rak tersebut sudah kelebihan beban.

Tumpukan buku yang mengelilinginya itu tak pernah dapat mengendurkan niatnya untuk mengurangi kehausannya membeli buku. Yang paling runyam adalah kalau dia pergi ke luar negeri, khususnya ke Boston. Dapat dipastikan dia memborong 60 sampai 100 judul setiap kali pergi. Buku baginya seperti pil Ecstacy. Begitu tiba di Jakarta, buku-buku dan majalah yang baru dibelinya itu dia keluarkan dan dia susun rapi di lantai. "Lalu ia duduk bersila memakai sarung," kata Kartini, "dan dengan mata berbinar Ciil mengelus-elus buku yang baru dibelinya itu satu per satu."

Menurut Kartini, kesukaan Ciil mengoleksi buku bukanlah hal yang istimewa. "Sama seperti kesenangan mengoleksi perangko, lukisan dan atau barang kerajinan," katanya. Ker tidak pernah mengaitkan soal kesenangan mengoleksi buku itu dengan bobot ilmiah seseorang.

Yang jelas, Ciil keranjingan akan buku, dan kembali ke horoskop Cina, sebagai ayam dia adalah tukang diskusi yang bisa alot. Ketika bersekolah di SMA Kanisius dia turut mendirikan kelompok diskusi. Semasa mahasiswa dia sering mengganggu teman-teman wanitanya dengan pertanyaan, "Kenapa sih lu nggak ikut diskusi?" Ciil punya penghargaan dan kekaguman khusus pada wanita yang menuntut ilmu, berkarir dan bekerja. Dia menyadari akan adanya ketidak-adilan sikap terhadap kaum wanita, dalam hampir setiap segi kehidupan, seperti yang pernah dia lihat pada pengalaman ibunya.

Ciil akan bersuara rendah, berbicara agak pelan, dan terkadang terasa seperti kiyai, jika dia berbicara menyangkut hal-hal yang filosofis. Kelihatannya dia berbakat jadi dai. Suatu kali dia berkata, jangan suka membuat ilusi mengenai diri sendiri dan masyarakat. "Sindroma tokoh", katanya, "adalah musuh utama kerja produktif'. Seseorang yang dihinggapi sindroma tokoh, menurut Ciil, sulit untuk bisa menerima perubahan yang terjadi, dan selalu ingin menjadi pusat perhatian. Sindroma tokoh membawa seseorang hanya ingin mendengar dan membenarkan dirinya sendiri, serta mengharapkan untuk dilayani dan ingin kembali pada kejayaan masa lampau.

***
Ada hal yang "gawat" pada Ciil, yakni makan sebagai hobi beratnya. Orang biasanya berkata "makan untuk hidup". Untuk Ciil ungkapan ini harus dibalik. Kalau melihat 'load" makannya, orang akan berkesimpulan, dia hidup untuk makan. Dia sangat suka makan, dan cenderung memaksa orang lain yang makan bersamanya melahap porsi yang sama dengan yang dia makan. Seorang stafnya yang agak kikuk dan merasa tidak enak untuk mengatakan "sudah cukup", sampai meringis-meringis kekenyangan ketika mengikuti Ciil untuk suatu pertemuan di Bali.

Ciil berbakat jadi pemandu di meja makan. Hanya saja kadang-kadang dia bisa seperti teroris yang menghujani kawan makannya dengan kata; "Ini nih! Udah coba ini? Enak nih! Ayo dong. Ambil aje semuanya!" Berbagai cara diet yang disarankan teman-teman dekatnya hanya memperoleh tempat yang marginal di hatinya. Jika dia terlambat makan atau makan di bawah "kapasitas terpasang" perutnya, produktivitasnya anjlok. Itulah sebabnya makan dan menulis bagi Ciil adalah dua hal yang saling melengkapi secara sempurna.

Setiap kali ada acara di rumah ataupun di kantornya, pasti ada kegiatan makan bersama. Tidak ada satu masakan pun yang membuat dia terdengar kecewa. Semua, enak! Masih untuk urusan yang satu ini, dia pernah mengeluh pada Kartini, karyawan wanita di kantornya kurus-kurus. "Kayak jarum pentul," katanya. Agar para karyawan ini lebih gemuk sedikit, dia keluarkan "kebijaksanaan" baru, menyediakan makan pagi yang terdiri dari roti, telur, susu, kacang ijo, dan nasi goreng bagi karyawan sekantor. Hasilnya, mengejutkan. Para karyawan wanita itu malah makin kurus. Kenapa? Stress, dipaksa makan pagi dengan menu 4 sehat 5 bengep.

Sebagai "sang ayam" yang agak konservatif Ciil memulai hari-harinya pukul 6 pagi, diawali dengan membaca suratkabar. Katanya, bangun pagi membuat otak segar, dan periuk nasi cepat terisi. Sering terjadi, pada pukul 7 dia sudah mulai mendiktekan tulisannya pada sekretarisnya, Poppy Soeyono, yang merekamnya di komputer.

Sebetulnya belakangan ini Ciil tidak pernah menulis dalam arti sesungguhnya, karena hampir semua makalahnya adalah hasil dikte. Satu makalah bisa selesai dalam satu jam atau 90 menit. Dia menganggap cara ini sangat efektif dan hasilnya jauh lebih memuaskan, karena apa yang dipikirkannya keluar sama cepatnya dengan apa yang diucapkannya.

Selama ini dia merasa bahwa ide yang akan dituangkannya sering terhambat karena dia harus menuliskannya sendiri, padahal kecepatannya menulis jauh lebih rendah dari kecepatannya berpikir. Karena itulah dikte lebih disukainya setiap membuat tulisan apakah itu berupa memo bagi masukan suatu kebijakan atau makalah. Rata-rata ada 10 makalah dan 10 memo setiap bulannya. Cukup sering terjadi dia menulis 3 makalah dalam sehari. Pernah dalam perjalanan ke airport, dia masih mendiktekan tulisan ke sekretarisnya melalui telefon. Pada puncak era pemekaran pasar modal, dia pernah berseminar 25 kali dalam sebulan dan semuanya memerlukan makalah. Ciil pernah berkata, "I write, I exist".

Sebelum 1992, dia menulis dengan mempergunakan kertas buram dengan ballpoint atau pulpen. Biasanya kerja menulis ini diselingi oleh tidur di kursi. Dia memang punya kebiasaan untuk tidur di mana saja, kapan saja, meskipun untuk beberapa saat. Batas antara menulis-tidur-menulis ini begitu tipisnya. Dia sanggup segera memegang pulpennya dan memulai kalimat baru begitu terbangun, dan sebaliknya.

Ketika terbangun pertanyaan yang sering dia ajukan adalah, "Gue ngorok nggak?" Pertanyaan ini sulit untuk dijawab, walaupun Ciil mendengkur waktu tidur, di kursi sekalipun. Kalau dijawab "tidak" dia akan menunjukkan reaksi tidak percaya. Jika dijawab "ya", dia malah balik bertanya, "Masa .... coba tiruin kayak apa gue ngorok".

Kini dia tak punya kesempatan tidur di saat mendikte. Kata Kartini, sekarang dia bahkan lebih 'nekad', pulang ke rumah yang jaraknya hanya lima menit perjalanan dari kantor untuk tidur siang, jika ada waktu.

Belakangan ini dia sangat suka dengan pulpen Mont Blanc dan kalau bisa yang limited edition. Apa sebab Ciil begitu snob dalam soal pulpen? Mungkin hal ini bisa dijelaskan dengan kenyataan bahwa dia tidak pernah mampu mengetik, dan buta teknologi komputer. Dia begitu asing dengan kedua teknologi ini. Seorang sahabatnya, pernah berkata, Ciil tak bisa mengetik karena tuts mesin tik terlalu kecil untuk jarinya yang begitu besar. Setiap kali dia menekan satu huruf, yang kena dua huruf sekaligus.

Dia memang buta teknologi, tapi kini dia asyik mempelajari mobil. Selain berlangganan berbagai majalah otomotif dalam dan luar negeri, Ciil juga rajin mendatangi pameran mobil yang menawarkan teknologi mutakhir. Kesenangannya ini seringkali membuat orang-orang yang dekat dengan dia geleng-geleng kepala, terutama isterinya. Kesenangan ini pula yang antara lain menimbulkan sinisme dari sejumlah orang yang menganggap Ciil sudah "lupa perjuangan", "materialistis", "gembel yang baru punya mobil", dan komentar sumbang lainnya. Komentar itu sampai juga ke kupingnya, dan Ciil hanya menjawab, "Kalau lu bukan apa-apa, jangankan dikomentarin, ditoleh pun lu kagak!"

Dalam hal teknologi dan produk baru, dia paling mudah jadi korban. Suatu kali Ciil dan Kartini pergi ke sebuah pusat perbelanjaan. Sebentar mereka terpisah, dan setelah itu Kartini menemukan Ciil ada di toko kacamata. Tampaknya, kata Kartini, dia sedang kena rayuan. Kacamata itu dia beli. Mahal. Padahal, baik untuk membaca mau pun untuk menulis sampai kini dia tak memerlukan benda itu. Keesokan harinya, kacamata itu dia bawa ke kantor. Di kamar kerjanya, sekali-sekali kacamata itu dia pakai, dan meminta komentar banyak orang, "Bagus nggak?!" Tapi itu hanya terjadi dua hari. Setelah itu kaca mata tadi tinggal tersimpan di laci.

Pada hari yang lain, dia hilang dari kantornya. Stafnya tahu dia tak punya acara apa pun di luar. Satu jam kemudian dia kembali. Dia baru saja dari Jl. Sabang --daerah pertokoan-- dan di sana dia membeli kamera polaroid. Ciil kemudian praktek memotret di kantor, dengan kagok, karena dia harus mengingat-ingat kembali instruksi si penjual tentang cara memakai kamera itu. Jepret! Pelan-pelan kertas foto itu keluar, didiamkan sebentar, ... nah fotonya jadi. Ciil tersenyum puas, dan bagaikan terpesona betul oleh teknologi polaroid itu, yang sebenarnya tidak lagi baru.

Belakangan ini dia masih sering tampil dalam berbagai seminar menularkan semangat dan idenya bagi pemulihan dan kemajuan bangsa ini. Di usianya yang ke-59 akhir bulan Februari 2004 ini, ia masih memiliki segudang harapan sambil terus melangkah menyosong Indonesia Baru yang sudah lama diimpikannya.

►atur/juka

1 comment:

Unknown said...

Dear,

I'm a korean living in seoul.(name: Oh Minseok)
Korean special investigative team investigated samsung
corporation.
But they did not work right.
Suspicious to have been bought off.
Samsung corporation had many crimes.
And the team investigated samsung corporation.
It contained korean companies samsung,hyundai,sk CEOs' illegal issuing
stocks or bonds. ( previous CEOs or present CEOs )
The quantity are plenty.
(Three company CEOs did(and are doing) many crimes to me.
Many koreans are knowing it.
But many koreans are bought off by illegal issuing stocks or bonds.
Korean prosecutors and judges and bureaucracy are also guilty.)
The team knew it.
Korean special investigative team must investigated this.
But they concealed it.
I ask for asking for this criminal investigation to prosecutors and presidents in any
country and THE WHITE HOUSE(http://www.whitehouse.gov) and INTERNATIONAL COURT OF JUSTICE(http://www.icj-cij.org) and INTERNATIONAL CRIME COURT(http://www.un.org/law/icc) and UN(http://www.un.org).
And help the shareholders and me.
P.S)
Three companies are hacking me and trying to kill me.
And are suspicious to use my name and email illegally.
If you receive another message that I dictated above are not true,
it is not from me, but from three companies.
The things I dictated above are true.

Blog Archive